Senin, 05 Desember 2011

kondisi sosial masyarakat tana toraja

Ketegangan Budaya Nenek Moyang dan Agama dalam Masyarakat Toraja

Tulisan ini merupakan suatu analisis sosial masyarakat Toraja yang telah mengalami perubahan dalam bingkai budaya nenek moyang, agama dan modenitas. Penulis menyadari bahwa untuk membahas hal ini secara komprehensif, dibutuhkan penelitian yang komprehensif pula.


Sementara itu, analisis yang penulis coba paparkan di sini didasarkan pada pengalaman empiris penulis - yang dibesarkan, belajar, dan melayani (sebagai Pendeta) dalam komunitas etnis Toraja - yang kemudian dirangsang oleh diskusi dalam kuliah ?Agama dan Masyarakat?. Jadi selayaknya tulisan ini diberi label: ?sebuah catatan awal?.

Dalam upaya memahami masyarakat Toraja ini, penulis mengelaborasi metode Bernard Adeney-Risakotta dalam kajian tentang model masyarakat Indonesia yang melihat modernitas, agama dan budaya nenek moyang sebagai tiga jaringan makna . Namun mengingat implikasi model ini sangat luas, maka penulis mempersempitnya dengan persoalan pokok: bagaimana ketiga jaringan makna ini membentuk etos dan world view masyarakat Toraja. Namun dalam pembahasannya penulis menukarkan posisi jaringan itu menjadi budaya nenek moyang, agama dan modernitas. Pembahasan seperti ini mengandaikan kronologi perubahan sosial masyarakat Toraja. Pertama-tama, budaya nenek moyanglah yang mengakar dan membentuk masyarakat Toraja. Setelah itu menyusul kehadiran agama dan merebaknya pengaruh modernitas. Penulis berusaha menghindarkan pembahasan ini dari unsur historis. Namun dalam tulisan ini hal tersebut bisa saja muncul di sana sini. Sebab menurut penulis, untuk menganalisis kondisi masyarakat saat ini dalam ketiga jaringan makna di atas, mau tidak mau kita harus sejenak menoleh ke belakang.



Masyarakat Toraja

Sebelum lebih jauh dalam pembahasan ini, penulis merasa perlu untuk sedikit menjelaskan apa yang penulis maksudkan dengan masyarakat Toraja. Istilah ini penulis pakai untuk membedakan kelompok masyarakat etnis Toraja yang tinggal di Kabupaten Tana Toraja dengan yang hidup sebagai perantauan di luar Tana Toraja. Pembedaan ini dilakukan mengingat adanya perbedaan pola pikir yang cukup mendasar antara orang Toraja yang tinggal di Toraja dan yang tinggal diluar Toraja dalam menanggapi masalah budaya nenek moyang, agama dan modernitas, serta pengaruhnya terhadap perilaku sosial mereka. Bagi mereka yang tinggal diluar Tana Toraja, perilaku sosial mereka cukup dipengaruhi oleh motifasi mereka meninggalkan Tana Toraja yaitu pekerjaan. Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar orang Toraja yang merantau, hidup di daerah dalam konteks masyarakat yang majemuk, baik secara etnis maupun agama. Berbeda dengan komunitas yang tinggal di daerah Tana Toraja yang cenderung homogen.



Makna Budaya Nenek Moyang Bagi Masyarakat Toraja

Budaya nenek moyang orang Toraja terbentuk dengan latar belakang suatu sistem religi atau agama suku yang oleh masyarakat Toraja disebut Parandangan Ada? (harfiah : Dasar Ajaran/Peradaban) atau Aluk To Dolo . Aluk to Dolo percaya satu dewa yaitu Puang Matua - sebutan yang di kemudian hari diadopsi oleh Gereja untuk menyebut Tuhan Allah. Di samping itu dikenal juga deata (dewa-dewa) yang berdiam di alam, yang dapat mendatangkan kebaikan maupun malapetaka, tergantung perilaku manusia terhadapnya.

Jika Durkheim membedakan antara yang sakral dan profan, maka hal itu tidak berlaku bagi Aluk to Dolo. Tidak ada yang profan. Semua aktifitas manusia memiliki nilai sakral mulai dari persoalan tidur sampai membangun rumah. Demikian halnya keberadaan manusia dari lahir sampai mati, aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol yang berhubungan dengan kesakralan itu selalu mengiringi keberadaan manusia Toraja. Aturan-aturan etis dan ritus serta simbol-simbol itu menghubungkan manusia secara khas dengan dengan tatanan faktual, baik dengan yang ilahi, maupun dengan sesama manusia dan alam. Kepercayaan inilah yang membentuk way of thinking dan way of living Toraja dan menjadi budaya yang melekat dengan begitu kuatnya.

Paradigma yang dipakai Geertz mengenai sintesa etos dan pandangan dunia daalam sebuah kebudayaan sangat membantu kita untuk memahami makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja . Simbol-simbol dan motifasi apapun yang dicerminkan pola budaya ini sangat terkait dengan pemahaman mereka tentang tatanan faktual, dimana manusia, alam dan yang ilahi terikat dalam sesuatu yang serba sakral. Jika kemudian Geertz mendefinisikan agama dari paradigma ini, rasanya definisi yang dihasilkan Geertz tidak berbeda dengan makna budaya nenek moyang bagi orang Toraja.



Budaya Nenek Moyang Dalam Perjumpaannya Dengan Agama Kristen

Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah ?Kristus melawan Kebudayaan?.

Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.

Dalam hal ini penulis melihat bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis. Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:

a. Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: ?Itu tidak sesuai dengan firman Tuhan?; ?Inilah kehendak Yesus?. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ?Menurut orang tua?.?. (Maksudnya nenek moyang), ?Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita?.. Dengan ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : ?Ah, kita kan sudah Kristen?.

Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk. Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.

b. Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana? Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana? bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana? karurung (Bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana? kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge?) dan orang awam (to buda).

Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.

Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down. Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian, masyarakat - entah sadar atau tidak - sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas budaya, dan asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat.

Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan ?pakaian? Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka ?pakaian? Kristennya di pakai.

Masyarakat Toraja dan Pola Pikir Modernitas: Implikasi ketegangan antara budaya dan agama

Jika kembali kepada paradigma budaya Geertz, masyarakat Toraja sekarang ini - entah sadar atau tidak, tetapi kemungkinan besar tidak disadari - sedang mengalami kebingungan pembentukan etos dan worl view. Antara dogma agama dan budaya nenek moyang. Antara keduanya ada tarik menarik, bahkan pertentangan. Gejala sosial yang dilematis ini menjadikan situasi masyarakat Toraja saat ini cukup rawan ketika diperhadapkan dengan modernitas dengan berbagai karakteristiknya.

Sejauh kita memahami modernitas sebagai sebagai keterikatan kepada rasionalitas dalam semua sisi kehidupan, kita tidak dapat sepenuhnya mengklaim bahwa modernitas sama sekali belum menyentuh masyarakat Toraja pada saat agama Kristen mulai berkembang. Bagaimanapun juga, doktrin yang dibawa para zending ke Toraja tidak lepas dari pergulatan modernitas di Barat (Belanda). Bahkan adanya tarik menarik antara pandangan dunia budaya dan pandangan dunia agama bisa jadi disebabkan pengaruh pola pikir modern.

Tetapi jika kita mencoba memfokuskannya pada etos dan pandangan dunia yang ditawarkan laju modernitas, maka akan segera terlihat ketidaksiapan mental masyarakat Toraja menghadapi fenomena sosial yang ditimbulkan pola pikir atau kita sebut saja kebudayaan modern. Ketidaksiapan itu bukan berarti penolakan, tetapi penerimaan tanpa kritik. Gejala ini sudah menjadi fenomena yang cukup umum dalam masyarakat Toraja sekarang ini. Tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama menyebabkan etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja terjebak dalam dualisme dan dikotomi. Keadaan ini menjadi cela yang cukup besar, yang memungkinkan kebudayaan modern mulai membentuk masyarakat tanpa ada perlawanan atau kritik yang berarti dari masyarakat, baik dengan dasar budaya maupun agama. Para pemerhati kebudayaan daerah maupun gairah pelayanan gereja sebenarnya cukup menyadari bahaya ini dan melakukan berbagai upaya pembinaan. Tetapi etos dan world view yang terlanjur tidak konsisten menyebabkan masyarakat tidak cukup kuat untuk mengajukan kritik terhadap kebudayaan modern serta melakukan kontrol terhadap infiltrasi kebudayaan modern. Akibatnya budaya modern mulai membentuk etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja.

Salah satu contoh adalah individualisme. Karakter ini mulai menjadi warna masyarakat Toraja. Padahal karakter demikian sangat bertolak belakang dengan semangat kebersamaan orang Toraja yang terkenal dengan semboyan misa? kada di potuo pantan kada di po mate (artinya kurang lebih sama dengan ?bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh). Ironisnya, individualisme itu bisa tercermin dalam sebuah aktifitas yang berlatar belakang budaya.

Penulis mencontohkan fenomena ini dengan menyorot salah satu upacara adat Toraja yaitu upacara pemakaman (rambu solo). Dari luar kita bisa melihat adanya nilai budaya yang besar dalam upacara ini. Ada pondok-pondok yang dirikan secara gotong royong. Hewan korban (kerbau dan babi) disiapkan untuk menjamu tetamu yang datang sekaligus simbol penghargaan kepada si mati . Setelah itu sanak famili dan kenalan mengungkapkan tanda dukacita melalui kehadiran dalam upacara itu sekaligus membawa babi atau kerbau sebagai tanda simpati. Pada akhir pesta (yang biasanya 3 sampai 4 hari), ada juga hewan korban yang disisihkan untuk disumbangkan kepada gereja.

Tetapi jika kita mencermati motifasi dibalik persiapan dan pengorbanan itu, kita akan menemukan bahwa unsur gengsi atau prestise sangat mengemuka. Demi martabat di mata masyarakat, keluarga si mati akan mempersiapkan pesta dengan hewan korban sebanyak mungkin. Walaupun merupakan sebuah pemborosan yang penting harga diri akan terjaga. Sementara itu, sumbangan dukacita (dalam bentuk hewan korban) yang dibawa famili yang lain atau kenalan, tidak lagi dianggap sebagai tanda simpati, tetapi hutang. Jika sekali waktu kenalan tersebut menggelar upacara yang sama, maka mau tidak mau hutang itu harus dibayar. Jika tidak, harga diri menjadi taruhan. Sumbangan ke Gereja pun tidak lepas dari masalah harga diri. Menyumbang banyak artinya terhormat, prestise terjaga. Tidak menyumbang, memalukan. Dalam hal ini individualistis berjalan bersama dengan materialisme. Sekiranya Ferdinand Toennies menganalisis kedaan ini maka pembedaan Gemeinshaft dan Gesselschaft dalam teorinya akan mengalami kerancuan. Masalahnya karakteristik Gesselschaft yang diidentifikasi Toennies justru sering tercermin dalam sebuah konteks Gemeinshaft di Toraja. Kita bisa sederhanakan fenomena ini dengan ungkapan ?modenitas yang berpakaian tradisional?.
Dengan semua kenyataan ini, indikasi keterasingan atau ketercabutan masyarakat Toraja dari akar budayanya mulai terlihat. Tetapi saya sendiri berharap bahwa teori-Hegel tentang keterasingan masyarakat modern dari lingkungannya, atau teori kurungan besi Weber tidak akan pernah terjadi dalam konteks masyarakat di Toraja.

Kesimpulan dan Penutup

Sebagai kesimpulan, penulis menyimpulkan pembahasan ini dengan mencoba menggambarkan kondisi sosial masyarakat Toraja saat ini dengan dua illustrasi berikut:
Pranata sosial dan struktur sosial masyarakat Toraja sedang (bahkan sudah lama) berada dalam tarik menarik antara paradigma budaya dan paradigma agama. Akibatnya Etos dan world view masyarakat berada dalam dualisme dan dikotomi. Disadari atau tidak, masyarakat sedang berada dalam kebingungan merumuskan jati dirinya.

Keadaan itu menyebabkan infiltrasi kebudayaan modern berlangsung tanpa kritik dan koreksi dan budaya atau agama. Akibatnya, etos dan pandangan dunia masyarakat Toraja mulai dibentuk oleh karakteristik budaya modern, tetapi ironisnya sering ditampilkan dalam kemasan budaya atau agama.

ASAL USUL TANA TORAJA
Konon, leluhur orang Toraja adalah manusia yang berasal dari nirwana, mitos yang tetap melegenda turun temurun hingga kini secara lisan di kalangan masyarakat Toraja ini menceritakan bahwa nenek moyang masyarakat Toraja yang pertama menggunakan "tangga dari langit" untuk turun dari nirwana, yang kemudian berfungsi sebagai media komunikasi dengan Puang Matua (Tuhan Yang Maha Kuasa).

Lain lagi versi dari DR. C. CYRUT seorang antropolog, dalam penelitiannya menuturkan bahwa masyarakat Tana Toraja merupakan hasil dari proses akulturasi antara penduduk (lokal/pribumi) yang mendiami daratan Sulawesi Selatan dengan pendatang yang notabene adalah imigran dari Teluk Tongkin (daratan Cina). Proses akulturasi antara kedua masyarakat tersebut berawal dari berlabuhnya imigran Indo Cina dengan jumlah yang cukup banyak di sekitar hulu sungai yang diperkirakan lokasinya di daerah Enrekang, kemudian para imigran ini membangun pemukimannya di daerah tersebut.

Nama Toraja mulanya diberikan oleh suku Bugis Sidendereng dan dari luwu. Orang Sidendreng menamakan penduduk daerah ini dengan sebutan To Riaja yang mengandung arti "Orang yang berdiam di negeri atas atau pegunungan", sedang orang Luwu menyebutnya To Riajang yang artinya adalah "orang yang berdiam di sebelah barat". Ada juga versi lain bahwa kata Toraya asal To = Tau (orang), Raya = dari kata Maraya (besar), artinya orang orang besar, bangsawan. Lama-kelamaan penyebutan tersebut menjadi Toraja dan kata Tana berarti negeri, sehingga tempat pemukiman suku Toraja dikenal kemudian dengan Tana Toraja.

Sejarah Aluk

Konon manusia yang turun ke bumi, telah dibekali dengan aturan keagamaan yang disebut aluk. Aluk merupakan aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mengandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua.

Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam lima tahap, yakni: Tipamulanna Aluk ditampa dao langi' yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit, Mendemme' di kapadanganna yakni Aluk diturunkan ke bumi oleh Puang Buru Langi’ Dirura.

Kedua tahapan ini lebih merupakan mitos. Dalam penelitian pada hakekatnya aluk merupakan budaya/aturan hidup yang dibawa kaum imigran dari dataran Indo Cina pada sekitar 3000 tahun sampai 500 tahun sebelum Masehi.

Beberapa Tokoh penting dalam penyebaran aluk, antara lain: Tomanurun Tambora Langi' adalah pembawa aluk Sabda Saratu' yang mengikat penganutnya dalam daerah terbatas yakni wilayah Tallu Lembangna.

Selain daripada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu : Pongkapadang bersama Burake Tattiu' menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, derngan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja "To Unnirui' suke pa'pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata sosial yang tidak mengenal strata. Kemudian Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta'bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : "To Unnirui' suku dibonga, To unkandei kandean pindan", yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.

Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial "To unniru'i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan", Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu dengan Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi'ti dari Makale membuahkan seorang anak.

Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu', Parange menuju Buntao', Pasontik ke Pantilang, Pote'Malla ke Rongkong (Luwu), Bobolangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba'bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bangkudu Ma'dandan ke Bala (Mangkendek), Sirrang ke Dangle.

Itulah yang membuat seluruh Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo diikat oleh salah satu aturan yang dikenal dengan nama Tondok Lepongan Bulan Tana Matari' Allo arti harfiahnya adalah "Negri yang bulat seperti bulan dan Matahari". Nama ini mempunyai latar belakang yang bermakna, persekutuan negeri sebagai satu kesatuan yang bulat dari berbagai daerah adat. Ini dikarenakan Tana Toraja tidak pernah diperintah oleh seorang penguasa tunggal, tetapi wilayah daerahnya terdiri dari kelompok adat yang diperintah oleh masing-masing pemangku adat dan ada sekitar 32 pemangku adat di Toraja.

Karena perserikatan dan kesatuan kelompok adat tersebut, maka diberilah nama perserikatan bundar atau bulat yang terikat dalam satu pandangan hidup dan keyakinan sebagai pengikat seluruh daerah dan kelompok adat tersebut.

Konon bentuk tongkonan menyerupai perahu kerajaan Cina jaman dahulu

Terik sinar matahari terasa semakin menyengat mata pada saat dipantulkan oleh papan berwarna merah yang menopang sebuah bangunan dengan bentuknya bak perahu kerajaan cina, guratan pisau rajut merajut di atas papan benwarna merah membentuk ukiran sebagai pertanda status sosial pemilik bangunan, ditambah lagi oleh deretan tanduk kerbau yang terpasang/digantung di depan rumah, semakin menambah keunikan bangunan yang terbuat dari kayu tersebut. Bentuk bangunan unik yang dapat dijumpai dihampir setiap pekarangan rumah masyarakat Toraja ini, lebih dikenal dengan sebutan nama Tongkonan.

Konon kata Tongkonan berasal dari istilah "tongkon" yang berarti duduk, dahulu rumah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Rumah ini tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja. Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial.

Oleh karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga bertingkat-tingkat dimasyarakat, maka dikenal beberapa jenis tongkonan, antara lain yaitu Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk, yaitu Tongkonan tempat menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.

Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan

Yaitu Tongkonan yang satu ini berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio' Aluk.

Tongkonan Batu A'riri

Yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini yang mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan. Tongkonan merupakan peninggalan yang harus dan selalu dilestarikan, hampir seluruh Tongkonan di Tana Toraja sangat menarik untuk dikunjungi sehingga bisa mengetahui sejauh mana adat istiadat masyarakat Toraja, serta banyak sudah Tongkonan yang menjadi objek wisata.

Tongkonan Marimbunna

Tongkonan tersebut terletak dikelurahan Tikala, sekitar 6 Km arah utara Rantepao. Marimbunna, merupakan nama dari orang pertama yang datang di daerah ini. Mempunyai daya tarik berupa peninggalan-peninggalan Marimbunna, yaitu: rumah sekaligus tempat mandi yang letaknya berada di atas karang, liang batu yang proses pembuatannya dipahat dengan menggunakan kayu serta ada juga kuburan Marimbunna yang diukir berbentuk perahu dan kerbau berdiri. Di sini kita juga dapat menjumpai jasad Marinbunna, yang tinggal tulangnya saja namun rambutnya tetap menempel di dahinya.

Benteng Batu

Benteng Batu adalah nama perkampungan asli orang Baruppu. Perkampungan ini terletak di Kecamatan Rindingallo, dengan jarak kurang lebih 50 Km arah utara Rantepao, didaerah ini seluruh wilayahnya dikelilingi oleh tebing. Sehingga otomatis keberadaannya terisolir dari dunia luar, untuk dapat masuk ke daerah tersebut hanya bisa melewati satu jalan yakni sebuah lorong batu yang memiliki daya tarik tersendiri. Tebing-tebing yang mengeliligi daerah ini masing-masing diberi nama, antara lain: Tebing batu, Kavu Angin dan Benteng Saji. Selain pemah dipakai untuk benteng pertahanan melawan Belanda, di tebing-tebing tersebut, terdapat kuburan dalam bentuk liang pahat maupun gua alam yang ada jasadnya. Pada setiap tahunnya, diadakan prosesi ritual penggantian pakaian jenazah yang disebut dengan to'ma' nene.

Tongkonan Bate-Banbalu

Tongkonan Bate-Bambalu terletak di Kecamatan Sa'dan Balusu, dengan jarak tempuh sekitar 2,5 Km arah timur Palopo. Didirikan sekitar abad X Masehi dan merupakan tongkonan tertua di daerah tersebut. Didirikan oleh seorang yang bernama Tanditonda, yang merupakan nenek moyang penduduk disana. Mitos yang ada menyebutkan bahwa Tanditonda adalah orang yang kaya akan kerbau dan gemar minum susu kerbau, hingga suatu saat susu-susu kerbaunya hilang dicuri orang, yang ternyata kelak si pencuri itu menjadi istrinya. Sebelum menikah dengan perempuan yang bernama Manurun Di Batara tersebut, mereka membuat kesepakatan bahwa Tangditonda tidak boleh memukul istrinya. Namun suatu saat janji itu dilanggarnya, istrinya yang sebenarnya dewa itu akhirnya meninggalkannya menuju langit, jalan lewat pelangi, dengan meninggalkan rumah tongkonannya, dan juga tenun yang belum selesai.

Tongkonan Siguntu'

Tongkonan Siguntu' terletak di Dusun Kadundung, Desa Nonongan Kecamatan Sanggalangi'. Dengan jarak sekitar 5 Km dari kota Rantepao, tongkonan yang unik ini dibangun oleh Pongtanditulaan. Keberadaannya yang di atas sebuah bukit menyajikan pemandangan alam yang indah mempesona, dengan dikelilingi hamparan sawah pada bagian timur serta tebing-tebing bukit Buntu Tabang, dengan keberadaan seperti ini membuat tongkonan nampak megah serasi bersatu dengan alam disekitarnya.

Tongkonan Lingkasaile-Beloraya

Tongkonan Lingkasaile adalah tongkonan yang pertama kali di daerah ini. Dibangun di kawasan Desa Balusu, 14 Km dari Rantepao, pendirinya bernama Takke Buku, keturunan Polo Padang dan Puang Gading. Tongkonan yang sudah ditumbuhi tanaman paku diatapnya ini, masih menyimpan perabot rumah tangga tempo dulu. Selain itu, tongkonan ini punya daya pikat khusus, yaitu di percaya, bila kita lewat pasti ingin menolehnya kembali. Oieh karena itulah tongkonan ini disebut dengan Lingkasaile-Beloraya, lingka sendiri berarti langkah, sedangkan Beloraya berarti menoleh kembali. Takke Buku memiliki/menyandang gelar Puang Takke Buku, beliau hidup kurang lebih pada abad ke-10. Selain Tongkonan Lengkasaile yang dibangun, ia juga membuat kuburan Bagi keluarganya yang disebut Liang Sanda Madao dan Rante Tendan yang digunakan tempat upacara pemakaman.

Tongkonan Rantewai

Tongkonan Rantewai atau Tongkonan Ranteuai, ini dibangun oleh sepasang suami istri bernama To welai Langi'na dan Tasik Rante Manurun. Didirikan sekitar abad XVII, Tongkonan ini memiliki simbol kepemimpinan, yakni tergambar pada patung kayu yang berbentuk "kepala naga" sebanyak delapan buah. Pada tahun 1917, Seluruhpeninggalan mengenai bukti perjuangan dalam mempertahankan tanah air bisa kita dapatkan di rumah adat Tongkonan Kollo-kollo ini.

Tongkonan Penanian

Suatu nama yang manis, oleh karena "Penanian" dalam bahasa Toraja, berarti sesuatu yang bermanfaat bagi semua orang, untuk dibaca dan dinyanyikan. Tongkonan ini terletak sekitar 14 Km arah timur kota Rantepao. Tongkonan Penanian mempunyai daya tarik keindahan tersendiri. Dengan menyajikan pemandangan serta tata letak deretan lumbung padi atau Alangsura' yang berjajar rapi dan antik. Lumbung-lumbung padi ini dibangun oleh Kepala Distrik Nanggala bernama Siambe Salurapa' yang juga sebelumnya sebagai pemangku adat dalam daerah Nanggala dan sekitarnya.

Tongkonan Layuk Pattan

Tongkonan layuk pattan, terletak di desa ulusalu, sekitar 18 Km dari kota Makale. Di bawah kepemimpinan Ma'dika, pemimpin tertinggi desa ini, para generasi maupun leluhur desa senantiasa melaksanakan upacara adat rambu tuka' atau ma'bua' ditongkonan tersebut. Selain itu, tongkonan Layuk Pattan juga berfungsi sebagai tempat musyawarah aluk atau adat, yang lebih dikenal dengan istilah tondok panglisan aluk, tempat pemerintahan juga sebagai tempat pengadilan adat. Tongkonan Layuk Pattan didirikan oleh Kala' pada kira-kira abad XIV, beragam peninggalan sejarah yang dapat disaksikan disini. Selain Tau-tau berjumlah 130 buah, tempat upacara adat Rante, monumen batu menhir, juga barang pusaka lainnya seperti mawa', keris dan tombak. Desa ini juga dilengkapi dengan sebuah Benteng yang kokoh, belum pernah terkalahkan oleh musuh pada jaman dulu kala yaitu Benteng Boronan.

Perumahan Adat Palawa'

Dahuiu kala ada seorang lelaki dari Gunung Sesean bernama "Tomadao" berpetualang. Dalam petualangannya ia bertemu dengan seorang gadis dari gunung Tibembeng bernama "Tallo' Mangka Kalena". Mereka kemudian menikah dan bermukim disebelah timur "desa Palawa" dan sekarang ini bernama Kulambu. Dari perkawinan ini lahir seorang anak laki-laki bernama Datu Muane' yang kemudian menikahi seorang wanita bernama Lai Rangri'. Kemudian mereka beranak pinak dan mendirikan sebuah kampung yang sekaligus berfungsi sebagai Benteng Pertahanan. Ada sebuah tradisi disaat peperangan terjadi antar kampung/musuh, jika ada lawan yang menyerang dan bisa dikalahkan atau dibunuh, maka darahnya diminum dan dagingnya dicincang, tradisi ini disebut Pa'lawak. Pada pertengahan abad XI, berdasarkan musyawarah adat disepakati, mengganti nama Pa' lawak menjadi Palawa', sebagai suatu kompleks perumahan adat. Dan bukan lagi daging manusia yang dimakan, tetapi diganti dengan ayam dan disebut Palawa' manuk. Keturunan Datu Muane secara berturut-turut membangun tongkonan di Palawa'. Sekarang ini terdapat 11 buah tongkonan (rumah adat) yang urutannya sebagai berikut (dihitung mulai dari arah sebelah barat):

  1. Tongkonan Salassa' dibangun oleh Salassa';
  2. Tongkonan Buntu dibangun oleh Ne'Tatan
  3. Tongkonan Ne'Niro dibangun olek Patangke dan Sampe Bungin
  4. Tongkonan Ne'Dane dibangun oleh Ne'Matasik
  5. Tongkonan Ne'Sapea dibangun oleh Ne'Sapeah
  6. Tongkonan Katile dibangun oleh Ne'Pipe
  7. Tongkonan Ne'Malle dibangun oleh Ne'Malle
  8. Tongkonan Sasana Budaya dibangun oleh Ne'Malle
  9. Tongkonan Bamba II dibangun oleh Patampang
  10. Tongkonan Ne'Babu dibangun oleh Ne'Babu'
  11. Tongkonan Bamba I dibangun oleh Ne'Ta'pare.

Tongkonan Palawa' juga memiliki Rante yang disebut Rante Pa'padanunan dan Liang Tua (Kuburan Batu) di Tiro Allo dan Kamandi, selain tongkonan juga dibangun lumbung atau alang sura' tempat menyimpan padi.

Tongkonan Unnoni

Unnoni artinya, "Berbunyi dan bergabung keseluruh penjuru". Nama ini membawa nama harum bagi keturunan leluhur dari Tongkonan Unnoni, sebab beberapa turunan dari tongkonan ini menjadi Kepala Distrik yang sekaligus dilantik sebagai puang (golongan bangsawan tertinggi), di wilayah Sa'dan Balisu desa paling utara Tana Toraja. Puang, sekaligus sebagai to Parengnge' yakni sebagai pemimpin adat dan pemimpin rakyat. Turunan yang berasal dari tongkonan Unnoni antara lain ne' Tongongan, Puang ne'Menteng, Puang Bulo', Puang Pong Sitemme', Puang Ponglabba, Puang Ne' Matandung dan terakhir Puang Duma'Bulo' . Tongkonan Unnoni melahirkan atau erat hubunganya dengan Tongkonan Belo' Sa'dan,Tongkonan Rea, Tongkonan Buntu Lobo' dan Tongkonan Pambalan. Generasi Tongkonan Unnoni merupakan generas i

yang pandai menenun . Istri para pemimpin dari masing-masing Tongkonan inilah yang memiliki ketrampilan menenun secara tradisional (tenun ukir). Cara menenun ini, oleh istri pemimpin diajarkan pada rakyatnya, hingga sekarang dan dapat dilestarikan. Proses menenun Tenun Paruki' inilah, yang dipertontonkan di Tongkonan Unnoni, mulai dari cara merendam benang sampai bisa jadi selembar kain tenun yang terukir cantik dan indah, dalam ukiran motif Toraja melalui sembilan tahapan.

Tongkonan Layukna Galuga Dua dan Pertenunan Asli Sangkombang.

Tongkonan Layukna Galuga Dua merupakan salah satu tongkonan yang dijadikan pengadilan, selain digunakan untuk pengadilan terhadap pelanggaran adat yang menjadi tanggung jawab To'Perengnge, juga merupakan pusat musyawarah para pemimpin keluarga dari Tongkonan Galuga dua untuk menentukan suatu rencana. Terletak sekitar 12 Km, arah utara dari Rantepao, Tongkonan Layukna Puang Galuga Dua; ini dibangun pada tahun 1189 oleh kedua putra Galuga. Dari kedua putranya ini, masing-masing membangun Tongkonan yaitu Tongkonan Papabannu' dari putra pertama dan Banau Sura' dari putra keduanya. Tongkonan Layukna Galuga selain tongkonan keluarga Galuga Dua juga merupakan pusat pertenunan dengan bebagai motif sesuai dengan kebutuhan adat dan ciri khas budaya Toraja. Macam-macam motif tenunan adalah: Tenunan Pamiring khusus untuk sarung perempuan,Tenunan Sappa khusus untuk celana laki-laki, Tenunan Paramba' khusus untuk selimut, Tenunan Paruki' khusus taplak meja dan dekorasi atau hiasan dinding, tenunan Lando khusus tombi untuk pesta untuk pesta rambu solo' atau sapu randanan.

To'Barana Sa'Dan dan Pertenunan Asli Toraja

Sa'dan artinya air atau batang air, To'Barana artinya tempat beringin atau pohon beringin, To' Barana merupakan tempat pengampunan masyarakat Sa'dan dahulu kala apabila masyarakat menghadapi sesuatu kesulitan. Lokasi To'Barana pada mulanya dibentuk oleh nenek moyang keluarga To Barana yang bernama Langi' para'pak. Pada lokasi ini dijadikan perkampungan tongkonan to'. Kemudian, tongkonan ini mengalami renovasi/dibaharui oleh leluhur To'Barana' bernama Puang Pong Labba. Kira- kira dua abad yang lalu dan kemudian mengalami renovasi lagi oleh keluarga Puang Pong Padati pada tahun 1959.

Lokasi dan rumah tongkonan yang diwariskan secara turun temurun kepada generasinya ini selain sebagi tongkonan juga sebagi pusat pertenunan asli Toraja. Para wanita di sini memiliki ketrampilan pandai menenun, karena sejak kecil telah diajarkan oleh orang tuanya. Bahan baku dari bahan tenunan asli di Sa'dan adalah benang kapas yang dipintal kemudian ditenun, seiring dengan perkembangan jaman saat ini tenun sa'dan sudah mulai menciptakan bemacam-macam motif tenun.

Perumahan asli BALIK SALUALLO SANGNGALLA', Balik Saluallo, objek yang juga tidak ketinggalan memiliki beberapa keunggulan atau keunikan tersendiri. Buburan sebagai tempat persembahan masyarakat Toraja yang masih memeluk agama Aluk Todolo (Ancester believe) dilokasi ini untuk memohon hujan pada saat musim kemarau dengan melakukan persembahan pemotongan hewan.

Pata' Padang; sebagai tempat awal bermusyawarah dan bermufakat bagi leluhur Toraja (pemimpin-pemimpin) dari seluruh pelosok di daerah Tondok Lelongan Bulan Tana Matarik Allo (Tana Toraja) untuk memutuskan/ menyatakan strategy melawan serangan dari luar daerah antara lain dari Bone.

Pemimpinnya adalah seorang yang pintar, bijaksana, gagah berani, yang bernama "Tumbang Datu" sekilas pintas otobiografi dari "Tumbang Datu", salah satu generasi dari Tongkonan balik yang memiliki daya pikat tersendiri sebagai berikut: Tumbang Datu sebagai koordinator dalam sejarah Topadatindo yang pernah mengatur strategy untuk melawan musuh yang dating dari Bone. Dan Tumbang Datu selalu berhasil mengalahkan lawannya. Temyata Tumbang Datu adalah salah seorang leluhur dari Tongkonan Balik yang memiliki kharisma tersendiri. Kepandaiannya dapat dibuktikan mengalahkan Datu Luwu beberapa kali dalam kompetisi-kompetisi keterampilan seperti: mempertandingkan ayam. Ayam siapa yang paling banyak berbunyi. Datu Luwu menyiapkan ayam jantan besar, yang hanya sekali-sekali berbunyi. Sedang Tumbang Datu menyiapkan anak-anak ayam yang baru dipisahkan dari induknya. Ternyata ayam dari Tumbang Datu lebih banyak berbunyi dan malah berbunyi terus menerus sangat ramai. Jadi Datu Luwu' merasa kalah. Dan banyak lagi, cerita yang unik yang bisa anda dengar dan terima dari objek wisata Tongkonan Balik Saluallo, yang bemilai kejujuran dan keadilan.